Ia berhenti bermimpi, agar adiknya bisa bermimpi lebih besar.
Nestory Irankunda tidak lahir dari kenyamanan. Ia lahir di sebuah kamp pengungsian di Tanzania. Saat usianya baru tiga bulan, keluarganya hijrah ke Australia, membawa harapan yang lebih besar dari apa pun yang mereka miliki.
Sepak bola pertama kali dikenalnya bukan dari akademi elite, tapi dari halaman rumah. Ayahnya mengajarinya menendang bola, ditemani sang kakak. Setiap sore, keluarga ini menanam mimpi sederhana: bermain bola, bersama.
Sampai suatu hari seorang pelatih tim lokal melihat bakat Irankunda. Ia disarankan masuk akademi. Masalahnya satu: uang. Keluarga Irankunda tidak punya cukup biaya untuk itu.
Di titik itulah pengorbanan terbesar datang. Kakak tertuanya memilih jalan sunyi: berhenti bermain sepak bola. Ia bekerja, mengubur mimpinya sendiri, agar adiknya bisa mengejar mimpi yang lebih besar—menjadi pemain profesional.
Ayahnya, seorang Kristen yang religius, ikut membayar harga. Ia mulai jarang ke gereja, bukan karena iman yang pudar, tapi karena harus mengantar Irankunda latihan. Waktu, tenaga, dan keyakinan—semuanya dipersembahkan demi satu tujuan.
Pengorbanan itu akhirnya terbayar.
Di usia 15 tahun, Irankunda menandatangani kontrak profesional. Ia debut di A-League, menembus tim nasional Australia, dan di usia 17 tahun Bayern Munich datang mengetuk pintu. Kini, ia melanjutkan kariernya di Inggris bersama Watford.
Kisah Nestory Irankunda mengingatkan kita semua:
di sepak bola, bakat saja tidak pernah cukup. Selalu ada pengorbanan di belakangnya—latihan tanpa henti, kerja keras yang sunyi, dan mimpi orang lain yang dikorbankan agar satu mimpi bisa menjadi nyata.
#Football #StoryBehindTheGame #Irankunda

Posting Komentar untuk "Ia berhenti bermimpi, agar adiknya bisa bermimpi lebih besar."
Posting Komentar